Assalamu'alaikum. Apa kabarnya hari ini, saudaraku? Semoga sehat selalu, ya.
Alhamdulillah saya masih diberi kesehatan, dan pada kesempatan kali ini kita akan mengenal lebih jauh tentang NU, dan pada post ini yaitu
Peranan Nahdlatul Ulama dalam Memperjuangkan
Berdirinya Negara Republik Indonesia. OK, langsung saja kita ke TKP . . .
Nahdlatul Ulama dalam langkahnya selalu mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Selain dilandasi oleh nilai-nilai keislaman, juga didasari nilai-nilai
ke-Indonesiaan dan semangat nasionalisme yang tinggi.
Peranan Nahdlatul Ulama pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-2 di Banjarmasin pada tahun 1936. Pada saat itu ditetapkan
kedudukan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Dar al-Salam, yang menegaskan keterikatan NU dengan nusa-bangsa. Meskipun disadari peraturan yang berlaku
tidak menggunakan Islam sebagai dasarnya, NU tidak mempersoalkan karena yang terpenting adalah umat Islam dapat melaksanakan syariat agamanya dengan bebas.
Pada perkembangan selanjutnya, tokoh-tokoh NU mulai terlibat secara aktif
dalam dunia politik. Hal ini dilihat pada saat tokoh-tokoh NU memprakarsai
lahirnya Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937, yang kemudian dipimpin oleh
K.H. Abdul Wachid Hasyim. Ide mendirikan MIAI
tidak bisa lepas dari kerangka usaha pengembangan Nahdlatul Ulama dalam perjuangan bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan. Sebab dilihat dari sudut historis
maupun semangat yang membentuk diri MIAI menjadi besar, tidak pernah lepas dari Peranan Nahdlatul Ulama.
MIAI pada dasarnya bergerak di bidang keagamaan, namun dalam setiap aktivitasnya sarat dengan muatan politik. MIAI berusaha mempengarui kebijakan-kebijakan
politik, melalui pengajuan tuntutan kepada penguasa, baik mengenai hal-hal yang secara langsung terkait dengan masalah keagamaan maupun tidak, bahkan masalah
internasional.
Pada masa penjajahan Belanda sikap NU jelas, yaitu menerapkan politik non cooperation (tidak mau kerja sama) dengan Belanda. Untuk menanamkan rasa benci
kepada penjajah, para ulama mengharamkan segala sesuatu yang berbau Belanda, sehingga semakin menumbuhkan rasa kebangsaan dan anti penjajah. Hal ini terlihar
ketika NU menolak mendudukkan wakilnya dalam Volksraad (DPR masa Belanda).
Di samping itu para ulama NU juga memberikan fatwa kepada umat Islam untuk tidak meniru pakaian model Belanda, seperti celana panjang atau berdasi, dengan
sebuah landasan (qaul):
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya : Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia menjadi bagian dari mereka.
Fatwa para ulama tersebut sangat ditaati oleh para santri sehingga mereka lebih suka memakai sarung daripada celana panjang meskipun sebenarnya tidak ada
larangan dalam Islam untuk memakai celana panjang.
Di saat Belanda datang lagi dengan membonceng tentara sekutu sambil mengultimatum agar Indonesia menyerah, NU mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan
Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Isi dari Resolusi Jihad tersebut adalah:
- Kemerdekaan RI yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.
- Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintah wajib dibela dan dipertahankan.
- Umat Islam Indonesia terutama warga Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dan kawan-kawannya yang hendak menjajah Indonesia kembali.
- Kewajiban itu adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban umat Islam yang berada pada radius 94 km (jarak diperbolehkannya menjamak shalat). Adapun yang berada di luar radius itu berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam radius km tersebut.
Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh NU berdampak besar di Jawa Timur. Pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya, terjadi sebuah pemberontakan massal, yang
di dalamnya terdapat banyak pengikut NU ikut terlibat aktif, di bawah pimpinan Bung Tomo. Peristiwa inilah yang kemudian dikenal dengan Hari Pahlawan.
Dalam rangka mempertahankan kemerdekaan tersebut, terbentuklah organisasi-organisasi perlawanan terhadap Belanda, antara lain Hizbullah di bawah
pimpinan K.H. Zainul Arifin dan Sabilillah di bawah pimpinan K.H. Masykur.
Demikianlah Peran Nahdlatul Ulama pada Masa Penjajahan Belanda. Semoga bisa menambah wawasan kita. Akhir kata, wassalamualaikum wr.wb.
2 Komentar
bener gan. tanpa pasukan jihad kita tdk bisa merdeka
Komentar dan saran sangat kami butuhkan untuk meningkat kualitas blog kami
*Budayakan anti spam
Emoticon